RUMAH KEDUAKU

Astriani Restiahari, M.Pd.I

Kepala MI Al Iman Bulus

Bagi saya, cinta adalah kekuatan terbesar untuk melakukan apa pun. Termasuk menceritakan salah satu momen yang terjadi dalam hidup saya. Masa jatuh dan bangun, menemukan sebuah keluarga ditempat yang baru, juga menemukan makna hidup yang sesungguhnya. Tentunya tulisan ini, saya urai sebagai media penolak lupa, bahwa di tengah zaman milenial ini, ada hal yang lebih bermakna dari sekedar harta. Salah satunya adalah keluarga, keluarga tanpa KK. Tulisan ini sama sekali tidak ditujukan untuk menyombongkan diri, tetapi kata pepatah tulisan bisa menggerakkan hati orang. Harapan saya, tulisan ini bisa membangkitkan semangat juang dimadrasah, memberi makna lain sebuah pekerjaan yang bernilai ibadah dan sudut pandang kebahagiaan yang hadir melalui rasa syukur kita.

Hujan baru saja reda. Genting-genting masih basah. Air menggenang di halaman rumah keluarga. Hari itu, tahun 2012, tahun saya memutuskan untuk mendedikasikan hidup saya bersama suami pasca Akad Nikah yang sakral. Bahagia campur haru. Keduanya menyatu karena saya harus mengikuti suami dan meninggalkan orang tua, tempat kelahiran saya. Tapi inilah hidup, kedewasaan seseorang akan terlihat ketika ia berani melangkah terlebih untuk ibadah.

Sesampainya di Purworejo, saya ingin istirahat sejenak guna menyelesaikan studi S2, tetapi kenyataan berkata lain. Satu minggu berdomisili di Purworejo, saya mendapat amanah kembali didunia pendidikan, tepatnya Madrasah Ibtidaiyah. Suatu tantangan yang tidak mudah, meski 7 tahun berpengalaman mengajar anak – anak, perbedaan jenjang, kultur budaya, sosial dan latar belakang masyarakat menjadi sebuah pekerjaan rumah yang besar.

Madrasah Ibtidaiyah Al – Iman memang berdiri di bawah Yayasan dan Pondok Pesantren besar bahkan tertua di Kabupaten Purworejo. Namun, pendidikan agama yang berhaluan ahlussunnah wal jama’ah an nahdhiyah untuk anak – anak usia pendidikan dasar pada waktu itu sedikit memprihatinkan. Berangkat dari rasa prihatin ini, saya dibantu rekan – rekan pondok ketika itu yang telah diamanahi oleh Ustadz Hasan menghidupkan kembali Ibtidaiyah dibuka secara gratis untuk anak usia lulusan TK pada tahun itu. Biaya awal dicover dari PP Al – Iman Bulus sebagai bentuk dawuh Al – Mukarram. Awalnya berat karena tidak semua anak mau diajak bersekolah di Ibtidaiyah dengan dalih belum resmi, masih promosi, dll., tetapi dengan pendekatan dari hati ke hati proses belajar trial dan error banyak orang tua yang akhirnya tergerak untuk ikut bersekolah di Ibtidaiyah.

Rupanya perjalanan panjang Madrasah Ibtidaiyah benar menjadi sebuah rumah kedua bagi saya, menjalani hari ke hari, bulan ke bulan bahkan berganti tahun, ada banyak sekali kejadian yang mampu menjadi moment haru serta bahagia. Bersama rekan seperjuangan, kakak, adik yang kini sudah lebih dari sekedar keluarga. Sungguh sebuah perjalanan terindah yang Allah suguhkan pada saya.

Memiliki hari – hari yang sibuk, tidak lantas membuat saya kehilangan kenikmatan hidup. Justru saya dapat menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya saat bersama mereka, rekan – rekan guru, anak – anak, wali santri dan segenap stakeholder yang selalu siap siaga. Menjadi garda terdepan demi kemajuan pendidikan agama dan bangsa. Ditangan merekalah segala mimpi yang ada dapat sedikit – sedikit menjadi kenyataan, menjadi janji yang dipercaya, menjadi air yang melegakan segala dahaga.

Setiap pagi dengan semangat menjemput berkah, kami semua menjalankan ibadah layaknya sebuah keluarga. Saya sebagai seorang ibu dan rekan – rekan guru layaknya adik – adik dan kakak saya. Anak – anak didik adalah anak kita dan madrasah ibtidaiyah ini adalah rumah kita. Rumah yang didalamnya terdapat pintu – pintu cinta, jendela – jendela ilmu dan kamar – kamar pengetahuan serta sirkulasi udara kasih sayang.

Sepuluh tahun bersamanya, membuat hidup saya menemukan arah tujuan yang jelas. Berjalan bersama, jatuh bangun, kepeleset, berhasil dan gagal kita lewati bersama – sama bagaikan sebuah saudara seperjuangan. Ada rasa bahagia ketika rekan kita bahagia, rasa duka ketika rekan kita tertimpa musibah. Sungguh disinilah kami bersama – sama merajut keluarga yang tangguh, penuh semangat tak kenal lelah menegakkan dasar – dasar pendidikan agama. Semoga rekan – rekan senantiasa ridho, ikhlas dan istiqomah beribadah di Madrasah Ibtidaiyah Al – Iman Bulus.

Itulah proses hidup sederhana saya di Madrasah Ibtidaiyah Al – Iman Bulus. Dari proses yang terus menerus membuat kita mengalami perubahan. Jika kita memulainya dengan baik, pasti akan berubah ke arah yang lebih baik. Seperti halnya hidup kita sebagai manusia, mari berproses untuk bermanfaat. Kedepannya, Harapan saya, MI Al – Iman Bulus, tetap menjadi rumah kedua yang nyaman, didalamnya terdapat cinta keluarga, terdapat semangat untuk menjadi yang luar biasa. Untuk rekan – rekan semua, jangan terlalu sibuk memikirkan kekurangan-kekurangan pada diri kita, mari kita sempurnakan kekurangan tersebut dengan menjadi berguna bagi orang lain.

RUMAH KEDUAKU

Astriani Restiahari, M.Pd.I

Kepala MI Al Iman Bulus

Bagi saya, cinta adalah kekuatan terbesar untuk melakukan apa pun. Termasuk menceritakan salah satu momen yang terjadi dalam hidup saya. Masa jatuh dan bangun, menemukan sebuah keluarga ditempat yang baru, juga menemukan makna hidup yang sesungguhnya. Tentunya tulisan ini, saya urai sebagai media penolak lupa, bahwa di tengah zaman milenial ini, ada hal yang lebih bermakna dari sekedar harta. Salah satunya adalah keluarga, keluarga tanpa KK. Tulisan ini sama sekali tidak ditujukan untuk menyombongkan diri, tetapi kata pepatah tulisan bisa menggerakkan hati orang. Harapan saya, tulisan ini bisa membangkitkan semangat juang dimadrasah, memberi makna lain sebuah pekerjaan yang bernilai ibadah dan sudut pandang kebahagiaan yang hadir melalui rasa syukur kita.

Hujan baru saja reda. Genting-genting masih basah. Air menggenang di halaman rumah keluarga. Hari itu, tahun 2012, tahun saya memutuskan untuk mendedikasikan hidup saya bersama suami pasca Akad Nikah yang sakral. Bahagia campur haru. Keduanya menyatu karena saya harus mengikuti suami dan meninggalkan orang tua, tempat kelahiran saya. Tapi inilah hidup, kedewasaan seseorang akan terlihat ketika ia berani melangkah terlebih untuk ibadah.

Sesampainya di Purworejo, saya ingin istirahat sejenak guna menyelesaikan studi S2, tetapi kenyataan berkata lain. Satu minggu berdomisili di Purworejo, saya mendapat amanah kembali didunia pendidikan, tepatnya Madrasah Ibtidaiyah. Suatu tantangan yang tidak mudah, meski 7 tahun berpengalaman mengajar anak – anak, perbedaan jenjang, kultur budaya, sosial dan latar belakang masyarakat menjadi sebuah pekerjaan rumah yang besar.

Madrasah Ibtidaiyah Al – Iman memang berdiri di bawah Yayasan dan Pondok Pesantren besar bahkan tertua di Kabupaten Purworejo. Namun, pendidikan agama yang berhaluan ahlussunnah wal jama’ah an nahdhiyah untuk anak – anak usia pendidikan dasar pada waktu itu sedikit memprihatinkan. Berangkat dari rasa prihatin ini, saya dibantu rekan – rekan pondok ketika itu yang telah diamanahi oleh Ustadz Hasan menghidupkan kembali Ibtidaiyah dibuka secara gratis untuk anak usia lulusan TK pada tahun itu. Biaya awal dicover dari PP Al – Iman Bulus sebagai bentuk dawuh Al – Mukarram. Awalnya berat karena tidak semua anak mau diajak bersekolah di Ibtidaiyah dengan dalih belum resmi, masih promosi, dll., tetapi dengan pendekatan dari hati ke hati proses belajar trial dan error banyak orang tua yang akhirnya tergerak untuk ikut bersekolah di Ibtidaiyah.

Rupanya perjalanan panjang Madrasah Ibtidaiyah benar menjadi sebuah rumah kedua bagi saya, menjalani hari ke hari, bulan ke bulan bahkan berganti tahun, ada banyak sekali kejadian yang mampu menjadi moment haru serta bahagia. Bersama rekan seperjuangan, kakak, adik yang kini sudah lebih dari sekedar keluarga. Sungguh sebuah perjalanan terindah yang Allah suguhkan pada saya.

Memiliki hari – hari yang sibuk, tidak lantas membuat saya kehilangan kenikmatan hidup. Justru saya dapat menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya saat bersama mereka, rekan – rekan guru, anak – anak, wali santri dan segenap stakeholder yang selalu siap siaga. Menjadi garda terdepan demi kemajuan pendidikan agama dan bangsa. Ditangan merekalah segala mimpi yang ada dapat sedikit – sedikit menjadi kenyataan, menjadi janji yang dipercaya, menjadi air yang melegakan segala dahaga.

Setiap pagi dengan semangat menjemput berkah, kami semua menjalankan ibadah layaknya sebuah keluarga. Saya sebagai seorang ibu dan rekan – rekan guru layaknya adik – adik dan kakak saya. Anak – anak didik adalah anak kita dan madrasah ibtidaiyah ini adalah rumah kita. Rumah yang didalamnya terdapat pintu – pintu cinta, jendela – jendela ilmu dan kamar – kamar pengetahuan serta sirkulasi udara kasih sayang.

Sepuluh tahun bersamanya, membuat hidup saya menemukan arah tujuan yang jelas. Berjalan bersama, jatuh bangun, kepeleset, berhasil dan gagal kita lewati bersama – sama bagaikan sebuah saudara seperjuangan. Ada rasa bahagia ketika rekan kita bahagia, rasa duka ketika rekan kita tertimpa musibah. Sungguh disinilah kami bersama – sama merajut keluarga yang tangguh, penuh semangat tak kenal lelah menegakkan dasar – dasar pendidikan agama. Semoga rekan – rekan senantiasa ridho, ikhlas dan istiqomah beribadah di Madrasah Ibtidaiyah Al – Iman Bulus.

Itulah proses hidup sederhana saya di Madrasah Ibtidaiyah Al – Iman Bulus. Dari proses yang terus menerus membuat kita mengalami perubahan. Jika kita memulainya dengan baik, pasti akan berubah ke arah yang lebih baik. Seperti halnya hidup kita sebagai manusia, mari berproses untuk bermanfaat. Kedepannya, Harapan saya, MI Al – Iman Bulus, tetap menjadi rumah kedua yang nyaman, didalamnya terdapat cinta keluarga, terdapat semangat untuk menjadi yang luar biasa. Untuk rekan – rekan semua, jangan terlalu sibuk memikirkan kekurangan-kekurangan pada diri kita, mari kita sempurnakan kekurangan tersebut dengan menjadi berguna bagi orang lain.

alamat